THE VIOLENCE: Tragedi Aku
aku melihat api di mata runcingnya
menatapku tajam
bola matanya menyimpan bara
yang setiap saat dapat tumpah
jika telah mencapai ubun-ubun
aku hanya sanggup menunduk
tanpa kata-kata
itu adalah senjata yang paling ampuh
seperti biasa
jari tangannya erat mencengkeram
di tubuh lumpuhku
bak harimau ganas
menerkam mangsanya
dan kali ini
aku berperan sebagai mangsanya
keringat dingin tumpah juga
dari pori-pori, membasahi tubuhku
batinku banjir
namun tak sampai meluap
egoku sebagai laki-laki membendungnya
tubuhku kaku, gemetar
jantungku apa lagi
berpacu tiada henti
wajah bengisnya menciutkan nyaliku
untuk sekedar melawan, atau
bermanis-manis kata
akhirnya
tangan besinya melayang juga kewajahku
lembut sekali
sampai tubuhku tersimpuh di lantai
perlahan, pandanganku kabur
kemudian gelap
Indonesia, 6 Mei 2007
YANG DATANG DI MALAM HARI
( AT-THORIQ )
telah tercipta untuk panorama semesta
menyeka luka-lembaran dusta
mengangkat I’tikaf jiwa-jiwa ternoda
saat sorot mata teduh tertuju
pada yang datang di malam hari
di langit yang tersenyum malu
turun setetes hidayah penawar luka
Semesta Alam, 6 Juli 2007
PERTANYAAN TERBURUK
sanubariku menutup rapat tiada terucap
barisan kata mengendap
angin tak mungkin tahu
mereka terperangkap dalam ketakutan
sampai perlahan menguap juga
tak ada gores sajak
melintas dalam ketiadaan, sia-sia
Boyolali, 6 Juli 2007
URBAN
biarlah tulang-tulang itu membuktikan diri
bahwa mereka adalah manusia
tetapi tetap saja bukan manusia
meski terlahir dari rahim seorang yang disebut manusia
mencetak lekukan tubuh manusia
tersemat dalam jiwa, jiwa manusia
namun, pantaskah “label” manusia terpampang
pada dada manusia?
mengidentifikasi diri
tampak sebuah fiksi namun nyata realita
hanya Indonesia yang mampu mengukirnya
menakjubkan
saat ketika mata membuka
menyaksikan fenomena luar biasa
yang menjangkit tubuh pertiwi
tampak sebuah fiksi, namun nyata realita
gerobak empat kali empat menjadi penyangga dikala lelap,
bersama dingin
jembatan ibu kota menjadi saksi
pada sandiwara getir
menyayat lirih tiang kehidupan
begitu jelas
sampah-sampah itu menggeliat di atas sampah-sampah kota
meski hidung tertusuk tajam
namun pudar oleh tetes-tetes harap
manusia yang mendambakan hidup manusia
sampai manusia mengakui mereka sebagai manusia.
Sambiroto, 15 Juni 2007