Aku dan Realita Kehidupan


Kulangkahkan kaki setapak demi setapak, melangkah pelan dipadang gersang, didepan mata kudapati gambaran pilu sebuah kehidupan. Sesosok tua berjalan terseok-seok di pingiran kota, diantara gedung-gedung megah perkotaan, ia terus berjalan, bertumpu pada kedua tangannya, dua kakinya tak lagi berdaya menopang tubuhnya yang meski tak lagi berdaging. Laki-laki tua itu, kulihat wajahnya yang tirus dan layu, namun sinar di matanya mengatakan keikhlasan dan keberanian. Hatiku iba, inginku ulurkan tangan ini, tapi ingin itu tak jua berbuah nyata.

Mata kecilku tak sanggup menyaksikan pemandangan didepanku ini yang setiap detik meski pelan tapi kurasakan ia pun semakin jauh dari pandangan. Kulemparkan pandangan membuang arah, mencoba tangkis kesedihan, tapi malang, malah kudapati sesosok laki-laki tua kecil berseragam hijau mendorong gerobak sampah warna merah, pergi pagi sekali. Ia sibuk punguti sampah-sampah masyarakat kota. Ia, laki-laki tua kecil berseragamkan kain hijau tengah mendorong gerobak sampah merah, tubuhnya tak lebih tinggi dari gerobak sampah sehingga jikalau engkau lihat dari kejauhan, maka seakan-akan gerobak merah itu berjalan sendiri. Ah, kucoba acuh, tapi alam kecilku menolak, kudapati jiwaku tersentil oleh keegoisanku, kekanak-kanakanku, kesombonganku menelentarkan sekeping mata uang, padahal itu sangat berarti bagi mereka.

Sekali lagi, mataku ku buang arah, coba tak pedulikan, karena aku adalah manusia terhormat. Entah apa hendak Tuhan kepadaku, mataku tak pernah lepas dari pandangan-pandangan getir tersebut, kali ini sesosok anak kecil dengan kakinya yang lincah, menari-nari sambil bernyanyi riang di depan ribuan manusia lalu-lalang di tengah terik siang yang membakar. Kuamati ia beberapa menit lamanya, tak satupun kulihat manusia-manusia terhormat itu, mungkin termasuk golonganku, mengulurkan tangan dari balik kaca mobil mewah mereka. Mungkin panas memburamkan penglihatan mereka. Tapi aku salut, atau mungkin sinis, terhadap semangat dan pantang menyerahnya. Meski manusia-manusia terhormat terlihat acuh, tapi anak kecil itu tak pernah sedetikpun membuang senyum tulusnya. Anak kecil itu terus memainkan alat musik sambil bernyanyi, meski tak seorangpun yang mau memperdengarkannya. Kali ini aku tak ingin membuang arah, aku tak ingin pura-pura acuh. Aku ingin pejamkan mata sejenak, mencoba berdamai dengan mata hati, membiarkan hati kecil berbicara dan mengatakan bahwa ada kehidupan penuh pilu disekitar kemegahan. Aku terus pejamkan mata kecilku, hingga butiran bening mengalir pelan dari kedua sudut mata ini.

Published by

muhsinsakhi

lahir di sebuah perkampungan kecil di Boyolali tepatnya di desa Sambiroto, Sindon, Ngemplak, Boyolali. Mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah Surakarta jurusan FKIP Bahasa Inggris. Saat ini berprofesi sebagai pengajar di SD Al-Azhar Syifa Budi Solo. Tergabung dalam komunitas menulis FLP Solo Raya. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi bersama seperti “Kapur dan Papan: Kisah Menjadi Guru” (2015), “Dupa Mengepul Di Langit” (2015), “Kapur dan Papan: Mendidik dengan Hati” (2016), “Ensiklopedi Penulis Nusantara” (2016), “Ketika Buku Berkisah Tentang Aku” (2016), “Bayang Terang Pendidikan” (2018) dan “Kaki Api” (2018) serta buku solo yang baru terbit tahun ini berjudul “Catatan Di Balik Ruang” (2020)

7 thoughts on “Aku dan Realita Kehidupan”

  1. Terkadang kita harus menyaksikan semua kehidupan agar kita bisa membuka hati kita , karena setiap kehidupan adalah pelajaran bagi kita,,
    Salam kenal teman,

    Like

  2. mari kita ambil pelajaran berharga dari setiap peristiwa dan apapun yang kita lihat, bila kita mampu berbuat sesuatu untuk sedikit merubahnya menjadi lebih baik atau untuk membantu meringankan, maka lakukanlah dengan ikhlas karena Allah (Dewi Yana)

    Like

  3. Assalaamu’alaikum

    Alhamdulillah, hari ini punya kesempatan BW ke laman sahabat untuk membalas kunjungan yang lalu. Semoga diredhai Allah selalu.

    Tujuan kita hidup di muka bumi ini adalah untuk beribadah kepada Allah. Apa sahaja yang kita tempuh merupakan ibadah. senang dn susahnya juga ibadah. Jika kita sabar akan mendapat pahala yang besar dan kemuliaan di sisi Allah. Oleh itu, getir kehidupan yang dilalui adalah iktibar dan pengajaran yang patut kita jadikan tantangan dalam menguji iman dan taqwa. Semoga kita menjadi hamba Allah yang ikhlas dan qanaah dengan ujianNya.

    Salam mesra dari saya.

    Like

Leave a reply to septianreyes Cancel reply