Ada satu masa dimana bibir menjadi begitu sulit untuk dikembangkan. Saat acuh lebih jumawa untuk berkuasa. Kegelisahan memenuhi ruang hati yang terluka. ‘Berarti kamu belum benar-benar ikhlas.’ Bisik sang nurani. ‘Ya, senyum yang kita berikan masih terganjal pada pamrih,’ begitu ucapnya.
Pagi itu saya kembali merenungi satu masa. Tentang suatu keadaan yang menjadikan saya bertingkah tidak biasa. Mencoba untuk acuh terhadap lingkungan dan sedikit kata untuk bicara. Kusembunyikan senyum yang biasa memancar dari wajah. Saya benar-benar enggan untuk melontarkan senyum kepada orang lain. Ada yang menggunduk keras di dalam jiwa. Rasa sakit hati yang muncul saat senyum berbalas kesinisan. Keramahan dibalas dengan keacuhan.
You must be logged in to post a comment.