‘WAHYU CINTA’ MIRZA GHULAM AHMAD


‘WAHYU CINTA’ MIRZA GHULAM AHMAD

Panjang lebar Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menulis biografi Mirza Ghulam Ahmad (MGA) dalam Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad. Namun, di buku berjudul asli Sirat Masih Mau’ud as itu, Bashiruddin yang juga khalifatul masih II tak mencantumkan secuil pun fakta kisah cinta ayahnya.

Ada 88 kitab- termasuk Tadzkirah-yang dikarang MGA, yang diantaranya merekam ‘wahyu-wahyu’ yang menjadi saksi kegagalan cinta MGA. Tapi, bagaimana bisa meleset? Bukankah MGA adalah nabi, rasul, almasih, almahdi, krishna, brahman avatar , titisan nabi-nabi sejak adam, mujaddid, imam zaman, dan lain-lain?

Abdullah Hasan Alhadar, dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang bulat Dipanggung Sejarah, menuliskan kisah itu dengan judul ‘love Affair Mirza’. Dia menyebutnya ‘kisah 1001 malam’ dengan MGA sebagai majnunnya. Roman ini, mulanya ditulis oleh penulis india, Sheikh Abu Bakar Najar, dalam risalah Do You Know About Mirza in Love?

Alkisah, pada suatu hari, MGA yang sudah sakit-sakitan akibat diabetes, vertigo, gangguan penglihatan, dan lain-lain, melihat gadis bernama Muhammadi Begum. Dia putri paman ibu Mirza, Mirza Ahmad Beg. Jatuh cinta, MGA, yang telah beristri dua, melamar gadis itu. Tapi betapa terkejutnya nabi Mirza, karena lamarannya ditolak.

Buntutnya, MGA mengumumkan ‘wahyu’ yang susul-menyusul. Mulai yang berkonten persuasif, hingga mengancam dan mengultimatum.

Tadzkirah hlm 157 menyatakan: “maka Allah menyatakan kepadaku, hendaklah engkau melamar perempuannya yang paling besar untukmu, dan katakanlah kepadanya (Ahmad Beg) agar dia menjadikan engkau sebagai menantu lebih dahulu….dan jika engkau tidak menerima (lamaranku) maka ketahuilah bahwa Allah telah mengabarkan kepadaku bahwa (kalau kamu) menikahkan anakmu dengan laki-laki lain, maka tidak diberkahi dan juga kepadamu (ahmad Beg). Dan jika kamu merasa takut, maka akan ditimpakan kepadamu bencana-bencana. Dan bencana yang paling akhir adalah kematianmu, kamu akan mati setelah pernikahan itu tiga tahun bahkan kematian itu lebih dekat, dan mati itu akan datang sedang kamu dalam keadaan lalai. Begitu pula suaminya akan mati setelah dua tahun enam bulan….”

Dalam Izalatil Auham hlm.396, Mirza mengumumkan ‘wahyu’: “Bahwa putri Ahmad Beg akan menjadi salah seorang istrinya, tetapi keluarganya akan menentangmu dan akan berusaha supaya perkawinanmu tidak terlaksana. Tapi jangan khawatir karena Allah akan memenuhi janjinya dan menyerahkan putri itu padamu, dan tak ada seorang pun sanggup menghalangi apa yang menjadi kehendak Allah.”

Karena orang tua gadis iut tak terpengaruh, turun lagi wahyu seperti tertulis di Asmani Risalat hlm 40: “Aku Allah telah menikahkan gadis itu padamu, hai mirza! Tak ada perubahan atas kata-kata-Ku….”

Di kitab Tukhfah Baghdad hlm. 28, MGA juga menulis wahyu: “bergembiralah engkau hai Mirza, bahwa Aku menikahkan engkau dan Aku telah kawinkan gadis itu dengan engkau.”

Karena wahyu-wahyu itu tak kesampaian, masyarakat mulai mengolog-olog MGA. MGA mengumumkan lalu ‘wahyu’ yang tercatat di Dafa Elwathawis hlm 228: “Biarlah mereka yang mengingkari kebenaran akan diperingatkan dan menyesali diri mereka, demikian ramalanku pasti tepat.”

‘wahyu’ terus turun, tapi Ahmad Beg memutuskan menikahkan putrinya dengan seorang pemuda, sultan Muhammad, MGA lalu menulis surat berisi permohonan dan peringatan yang dikirimkan kepada sejumlah keluarga gadis itu. Tapi, penolakan tak berkurang.

Bahkan, istri anaknya, juga menolak. Buntutnya, MGA meminta anaknya, Mirza Fadl menceraikan istrinya. Putra lainnya yang tidak menyukai cara-cara ayahnya, dihardik oleh Mirza dan tidak diberi hak waris. Peristiwa ini tertulis di Seeratul Mahdi hlm 22.

Pad 7 April 1892, ketika pengikut-pengikut MGA sedang asyik berdoa di masjid agar perkawinan batal, diluar masjid terjadi keramaian. Resepsi pernikahan Muhammadi dengan Sultan sedang berlangsung.

Meresponsnya, turun lagi ‘wahyu’ yang tercatat di Tadzkirah hlm 160-161: “ Sesungguhnya dia akan dijadikan seorang janda, dan suaminya serta bapaknya akan mati tiga tahun kemudian setelah hari pernikahan. Kemudian kami akan mengembalikannya kepadamu setelah kematian mereka berdua…”

Waktu terus bergulir. Sembilan tahun sudah usia pernikahan Muhammadi-sultan, dan tak terjadi apa-apa. Pada 1 Agustus 1901, MGA meunlis diharian Al Hakam Vol 5 No 29: Sesungguhnya gadis ini belum menjadi istriku, namun demikian jangan kira aku tidak akan mengawininya. Sebagaimana aku telah katakan sebelumnya. Dan barang siapa mencemooh aku, akan mendapat malu. Karena gadis ini masih hidup maka ia akan menemui aku dalam suatu perkawinan yang akan datang.”

Tahun 1908, MGA meninggal. Adapun Muhammadi dan Sultan, tetap hidup. Bahkan Sultan ikut perang Dunia I. Dia memang mendapat luka-luka , tapi sembuh dan hidup bahagia bersama istrinya.

Nurrudin, khalifatul masih I, berapologi lewat media kalangan Ahmadiyah.org, Fathurrahman Ahmadi Djajasugita dalam tulisannya ‘tanggapan atas artikel-artikel’, menyebut kegagalan itu karena Ahamd Beg, sultan, dan Muhammadi adalah penganut Hindu dan sangat membenci Islam.

Hasan bin Mahmud Audah, mantan direktur umum seksi bahasa Arab Jemaat Ahmadiyah Pusat London, dalam bukunya, Ahmadiyah : kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman menulis sedikit soal kisah ini. Dia menyatakan saat terpikat pada Muhammadi, usia MGA 60 tahun.

“Di antara perkara yang mesti seseorang berhenti dalam pengamatannya terhadap kehidupan Mirza Ghulam, adalah bersikerasnya mengawini gadis berumur 17 tahun, “kata Audah yang telah keluar dari Ahmadiyah, dan melakukan berbagai upaya mengajak warga ahmadiyah kembali kepada Islam.

Soal Muhammadi Begum, dia menyatakan, “(Muhammadi Begum) seorang wanita muslimah dari kalangan famili Yang tidak membenarkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad.” Keluarga MGA yang juga tidak beriman pada kenabiannya adalah anak-anaknya sendiri, yaitu Mirza Sultan dan Mirza Fadl.

“Masalah ini (kisah MGA-Muhammadi) jarang dibicarakan orang-orang Ahmadiyah,” kata mantan Mubaligh Ahmadiyah dan lama menetap di Qadian serta menikah dengan anak tokoh Ahmadiyah di sana.

Sumber : Republika, Rabu 16 April 2008, hal. 5

Published by

muhsinsakhi

lahir di sebuah perkampungan kecil di Boyolali tepatnya di desa Sambiroto, Sindon, Ngemplak, Boyolali. Mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah Surakarta jurusan FKIP Bahasa Inggris. Saat ini berprofesi sebagai pengajar di SD Al-Azhar Syifa Budi Solo. Tergabung dalam komunitas menulis FLP Solo Raya. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi bersama seperti “Kapur dan Papan: Kisah Menjadi Guru” (2015), “Dupa Mengepul Di Langit” (2015), “Kapur dan Papan: Mendidik dengan Hati” (2016), “Ensiklopedi Penulis Nusantara” (2016), “Ketika Buku Berkisah Tentang Aku” (2016), “Bayang Terang Pendidikan” (2018) dan “Kaki Api” (2018) serta buku solo yang baru terbit tahun ini berjudul “Catatan Di Balik Ruang” (2020)

3 thoughts on “‘WAHYU CINTA’ MIRZA GHULAM AHMAD”

  1. Khabar-khabar Ghaib TentangMuhammadi Begum

    Latar Belakang Khabar Ghaib

    UNTUK memahami hal ini, perlu diketahui terlebih dahulu apa sebenarnya tujuan khabar ghaib ini. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam sendiri menulis, “Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa telah mendapati sepupu saya dan keluarganya (Ahmad Beg dengan yang lain-lainnya – Pen.) tenggelam di dalam pemahaman dan amalan yang salah dan juga tenggelam di dalam amalan tradisi dan bidah. Dan mereka, tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan mengikuti hawa nafsu. Dan mereka, mengingkari adanya Tuhan dan membuat fasad. (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 566) Mereka orang-orang yang betul-betul kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, mereka mengingkari takdir yang baik dan buruk. Mereka betul-betul orang atheis.” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 567)

    Tentang keadaan mereka ini, jelas sekali dari peristiwa di bawah ini sebagaimana yang diterangkan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam:
    “Suatu malam terjadi hal seperti ini: Seseorang datang kepada saya menangis. Melihat yang menangis, saya merasa khawatir, dan saya bertanya kepadanya, ‘Siapakah yang meninggal?’ Dia berkata, ‘Bahkan lebih dari itu. Saya duduk bersama mereka. Orang itu yang telah murtad dari agama Tuhan, maka dari antara mereka ada seseorang yang mencaci Rasulullah ‘alaihissalaam kotor sekali. Suatu cacian yang begitu kotornya yang tidak pernah keluar dari mulut orang kafir sendiri. Dan, saya lihat mereka menginjak-nginjak Alquran. Dan, mereka mengatakan sesuatu yang begitu kotornya; sehingga dengan ikut mengatakannya saja, lidah kita akan menjadi kotor. Dan, mereka mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada wujudnya. Di dunia ini, tidak ada yang harus disembah. Itu hanya satu kedustaan yang diucapkan para pendusta.’

    Saya berkata kepadanya, ‘Apakah saya tidak melarang untuk duduk dengan mereka? Takutlah kepada Allah. Di masa datang jangan sekali-kali duduk dengan mereka. Dan bertaubatlah.’” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 568)

    Pendeknya, demikianlah keadaan orang-orang itu ketika Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam mendakwakan diri sebagai Utusan Allah. Bagi mereka yang mengingkari adanya Tuhan, dakwa seperti itu hanya menggerakkan mereka untuk mencemoohkan dan menghina Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam dengan sangat lancang (kurang ajar). Dan, mereka berkata:
    فليأتنا بئاية إن كان من الصّادقين
    “Bawalah suatu tanda untuk kami, jika dia termasuk orang yang benar.” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 568)

    Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam bersabda, “Mereka menulis sepucuk surat yang isinya mencaci Rasulullah ‘alaihissalaam dan Alquran, serta meminta tanda dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa. Dan, mereka menyebarluaskan surat itu. Dalam hal ini, orang yang bukan Islam, yakni: orang Hindu dan Kristen, banyak menolong mereka. Dan, mereka pembangkang yang sangat luar biasa.” (Surat ini ada pada Surat Khabar Shasmae Nur, tahun 1885)
    Terhadap tuntutan tanda dari mereka ini, mendorong beliau ‘alaihissalaam untuk berdoa:
    و قلت يا رب يا رب انصر عبدك و اخذل أعداءك
    Saya berkata, “Wahai Tuhan kami, wahai Tuhan kami! Tolonglah hamba Engkau ini, dan hinakanlah musuh Engkau.” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 569)

    Sebagai jawaban, Tuhan memberikan tanda melalui wahyu yang untuknya orang-orang sedang menunggu dengan penuh kegelisahan, “Aku telah melihat kenakalan dan kejahatan mereka. Maka dalam masa dekat, Aku akan melimpahkan kepada mereka berbagai macam musibah. Dan, Aku akan menghancurkan mereka. Dan dalam masa dekat, engkau akan melihat apa yang akan Aku kerjakan terhadap mereka. Aku berkuasa atas segala sesuatu. Aku akan membuat perempuan-perempuan mereka janda, dan membuat anak-anak perempuan mereka yatim. Dan membuat rumah-rumah mereka, kosong dari penghuni. Supaya, mereka mendapat hukuman atas perbuatan mereka. Tapi, Aku tidak akan meghancurkan mereka sekaligus. Tapi, akan menghancurkan mereka sedikit-sedikit supaya mereka kembali dan menjadi sebagian dari orang yang bertaubat. Dan laknat-Ku, akan menimpa mereka dan seluruh rumah mereka, dan kepada orang-orang dewasa, anak-anak kecil dan perempuan-perempuan mereka, dan laki-laki mereka, dan tamu-tamu yag ada di rumah mereka. Dan mereka semuanya, akan menjadi orang yang dilaknat.” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 569)

    Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa Tuhan akan membuat para wanita mereka janda dan anak-anak perempuan mereka yatim. Tapi ada syarat untuk kembali kepada Allah atau bertaubat, sehingga mereka mendapatkan keselamatan.

    Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam menjelaskan hal tersebut di bawah ini:
    “Kalau Ahmad Beg memberikan anak perempuannya (Muhammadi Begum), maka dia dan keluarganya akan mendapatkan berkat kerohanian yang banyak sekali sebagaimana Ummi Habibah binti Abu Sofyan dan Saudah binti Zam’ah radhiyallaahu ‘anhuma menikah dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, telah memberikan berkah kepada keluarga dan suku mereka sehingga semuanya masuk Islam.”

    Wahyu Tuhan telah menerangkan bahwa beliau ‘alaihissalaam tidak akan menikahinya dalam masa 3 tahun sesudah wahyu tersebut; sedangkan orang yang menikahinya dalam masa 2½ tahun akan mengalami kehancuran. Dan sesudah perempuan itu menjadi janda, baru beliau ‘alaihissalaam akan menikahinya. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam menerangkan sendiri, “Tuhan Maha Kuasa dan Maha Bijaksana berfirman kepada saya agar anak perempuan Ahmad Beg ini dinasihati untuk menikah. Dan, katakan kepada mereka: ‘Seluruh perlakuan terhadap kamu hanya akan terjadi dengan syarat ini. Dan pernikahan ini, bagi kamu akan menjadi sebuah tanda berkat dan rahmat bagimu. Dan kamu akan mendapatkan rahmat dan berkat-berkat’—sebagaimana yang tertera pada selebaran tanggal 20 Februari 1888. Tapi kalau mengingkari pernikahan, maka akhir kehidupan puteri ini akan sangat buruk. Orang itu akan meninggal 2½ tahun sejak hari pernikahan. Dan demikian juga ayah anak-perempuan ini, akan mati dalam masa 3 tahun. Dan rumah tangga mereka akan ditimpa perselisihan, kesulitan dan musibah. Dan di masa-masa tersebut pun, puteri tersebut akan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dan mengalami kesedihan.” (‘Aina Kamalat-e-Islam, hal 286)

    Wahyu Tuhan telah menerangkan hal-hal lainnya lagi:
    1. Mirza Ahmad Beg akan menikahkan anak perempuannya itu dengan lelaki lain. Ini terlihat pada wahyu, “Mereka mendustakan tanda-tanda-Ku. Dan beserta itu mereka pun mencemoohkannya. Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa akan menghukumnya dan mengembalikan anak-perempuan itu kepadamu.
    2. Kalau mereka tidak bertaubat, maka Tuhan akan menimpakan bermacam musibah sehingga mereka akan mengalami kehancuran. Dan rumah mereka, akan penuh dengan janda. Dan kemurkaan Tuhan, ada di sekitar rumah mereka. Tapi kalau mereka kembali, Tuhan pun akan kembali kepada mereka dengan rahmat-Nya.
    (Kedua kutipan itu sangat jelas sekali sehingga tidak memerlukan penjelasan. Dalam hal ini jelas sekali adanya syarat taubat. Dan diterangkan, bahwa orang-orang yang dikhabarkan akan hancur, kalau mereka tidak taubat. Jika mereka tidak taubat, maka azab pasti akan turun. Namun, kalau mereka kembali, maka Tuhan akan kembali kepada mereka dengan rahmat-Nya.)
    3. Bukti yang ketiga tentang hal ini bahwa di dalam khabar tersebut ada syarat taubat nampak dalam wahyu di bawah ini yang telah disebutkan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam, “Saya melihat secara kasyaf bahwa perempuan itu (neneknya Muhammadi Begum) dan nampak di wajahnya bekas menangis. Maka saya berkata kepadanya, ‘Wahai perempuan, bertaubatlah sebab bencana akan menimpa anak-anakmu dan musibah akan menimpamu. Seorang lelaki akan meninggal, dan darinya yang tinggal hanya anjing-anjing.”
    Dari kata “bertaubatlah”, jelas sekali bahwa musibah yang akan menimpa keluarga ini akan bisa dihindari melalui taubat.

    Dan mengatakan bertaubatlah kepada neneknya Muahammadi Begum, Tuhan bermaksud menjelaskan bahwa pintu taubat terbuka luas.

    Selain dari dosa besar, semua dosa kecil dijauhkan melaui doa. Karena itu, di dalam doa ‘Athahiyyat, kita diajarkan:
    ربّنا اغفرلي ولوالديّ
    “Wahai Tuhan kami, ampuni hamba dan kedua orang tua hamba.”
    Begitu juga kita diajarkan doa untuk keturunan kita:
    ربّ اجعلني مقيم الصّلوة ومن ذريّتي
    “Wahai Tuhan-Ku, jadikanlah hamba dan keturunan hamba: Orang yang mendirikan shalat.”

    Pendeknya, dengan mengatakan bertaubatlah menerangkan bahwa dalam hal ini yang menjadikan taubat sebagai syarat, maka untuknya pintu sangat terbuka luas; sehingga, dengan doa dan istighfarnya nenek, membuat musibat si cucu akan hilang (menjauh). Apalagi, kalau dia sendiri yang bertaubat dan beristighfar.

    Pernyataan Pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam

    “Kami sedikitpun tidak merasa perlu untuk memohon kepada Keluarga Muhammadi Begum, untuk menikah dengan puteri mereka (Muhammadi Begum); sebab semua keperluan-keperluanku telah Tuhan penuhi; anak-anak keturunan Dia telah anugerahkan dan dari antara anak yang merupakan lampu penerang agama, bahkan seorang anak lainyang akan lahir dalam jangka waktu tidak lama lagi yang namanya Mahmud Ahmad—diberi nama oleh Tuhan—yang sangat penuh dedikasi/kesabaran dalam pekerjaan-pekerjaan. Jadi, permohonan jodoh ini, hanya sebagai tanda, supaya para penentang Islam di dalam keluarga itu, Allah perlihatkan dengan kekuasaan dahsyat yang jika mereka meliahtnya maka berkat dan rahmat akan turun kepada mereka; dan menjauhkan musibah-musibah itu yang tidak lama lagi akan turun. Jika mereka menolaknya, maka Tuhan akan menurunkan kemarahannya sebagai peringatan kepada mereka. )

    Maka, terbuktilah bahwa tujuan sebenarnya dari khabar ghaib Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam bukanlah ini: bahwa Muhammadi Begum menikah dengan saya. BAHKAN, inilah makna khabar ghaib itu yaitu: Ahmadi Begum dan Sulthan Muhammad jika tidak bertaubat, maka di waktu 3 tahun dan 2½ tahun akan binasa. Dan sesudah kebinasaannya, maka Muhammadi Begum menjadi janda dan akan menikah dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam.

    Lihatlah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam sendiri menulis tentang selebaran tanggal 20 Februari 1886 berikut ini:
    1. Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa telah menzahirkan khabar ghaib ini bagi orang-orang yang menolak untuk menikahkannya dengan yang lemah ini bahwa: Di antara mereka yang bernama Ahmad Beg, kalau tidak menikahkan putri sulungnya dengan saya, maka dia akan mati dalam waktu sampai 3 tahun bahkan kurang darinya. Dan orang yang menikahinya, maka dari sejak hari pernikahan sampai 2½ tahun akan mati. Dan akhirnya, perempuan itu akan menikah dengan saya.
    2. Berikut ini, dalil yang lebih jelas dari di atas, yang membuktikan bahwa Muhammadi Begum akan datang untuk menikah dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam—sesudah matinya Ahmad Beg dan Sulthan Muhammad—adalah, “Suaminya dan ayahnya, akan mati dalam tempo 3 tahun. Sesudah kematian keduanya, Kami akan membawa perempuan itu kepadamu.” (Karamatus-Shadiqin, Title)
    3. Dalil yang lebih jelas dari ini yang membuktikan bahwa maksud sesungguhnya dari khabar ghaib ini bukanlah menikah, bahkan tentang kebinasaannya Ahmad Beg dan Sulthan Muhammad: Tujuan sesungguhnya dari khabar ghaib ini adalah kebinasaan keduanya itu. Dan menikahnya perempuan ini dengan saya, adalah sesudah kematian mereka. Dan itupun, hanya bertujuan untuk lebih membuka mata tentang kecemerlangan tanda itu, bukannya sebagai tujuan yang sesungguhnya.” (Anjam-e-Atham, hal. 216)

    Sekarang, sampai dimana mereka mengambil manfaat dari syarat taubat itu, Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa Maha Mengetahui Dia tahu apa yang akan terjadi kepada mereka. Ini kita bisa lihat dalam wahyu berikut:
    (رأيت هـاـذه المرأة و أثر البكاء على وجهها فقلت ايتها المرأة) توبي توبي فإن البلآء على عقبك والمصيبة نازلة عليك يموت ويبقى منه كلاب متعددة – (تبليغِ رسالت ، صفـه .123 جلـد1 )
    “Wahai perempuan! Bertaubatlah, bertaubatlah azab akan turun atasmu dan atas anak perempuan dari anak perempuanmu (dari dua lelaki yaitu Ahmad Beg dan Sulthan Muhammad). Salah satu akan mati (yakni dia tidak akan bertaubat. Tapi yang kedua akan mengambil faedah dari syarat bertaubat. Dan dengan demikian perempuan itu tidak akan menjadi janda, maka tidak akan menikah lagi). Dan tinggallah anjing-anjing menggonggong.” (Tabliigh-e-Risaalat, halaman 123, Jilid I)—Bahwa, kenapa pernikahan itu tidak terjadi yakni mengajukan keberatan tanpa sebab.

    Dalam wahyu ini, jelas sekali bahwa di antara Ahmad Beg dan Sulthan Muhammad salah satunya tidak akan mengambil faedah dari syarat taubat dan akan mati. Dan yang satu lagi akan mengambil faedah dan akan selamat. يموت — Yamuut adalah sighah fi’il mudhari’ untuk tunggal (wahid) yang berarti: Seorang lelaki akan mati.

    Sekarang dengan membahas hal-hal di atas, kita sudah membuktikan bahwa hakikat khabar ghaib Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam adalah:
    1. Ahmad Beg akan menikahkan anak perempuannya dengan orang lain ( يردّها إليك ).
    2. Sesudah menikah, kalau tidak bertaubat, maka Ahmad Beg dan menantunya akan mati dalam masa 3 tahun. Dan karenanya, anak perempuan dengan menjadi janda akan menikah dengan saya. (Selebaran tanggal 30 Pebruari 1886)
    3. Dari antara dua lelaki yang tidak akan mengambil faedah dari Syarat Taubat, maka akan mati (يموت).
    4. Lelaki yang satu lagi akan mengambil faedah dari Syarat Taubat. Dan dengan bertaubat, ia akan selamat.
    5. Anak perempuan itu tidak menjadi janda, karenanya nikah tidak akan terjadi.
    6. Karena nikah hanya bisa jadi kalau telah menjadi janda. (Anjam Atham, h. 216)

    Khabar Ghaib Telah Sempurna

    Singkatnya, khabar ghaib Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam terdiri dari hal-hal diatas. Sekarang marilah kita perhatikan dengan seksama. Lihatlah! Apakah hal-hal yang telah diterangkan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam telah sempurna atau belum? Kenyataan telah menerangkan, bahwa apa saja yang Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam telah khabarghaibkan, telah sempurna secara hurup ke hurup.

    1. Ahmad Beg telah umenikahkan Muhammadi Begum kepada Mirza Sulthan Muhammad. 7 April 1892
    2. Ahmad Beg tidak mengambil faedah dari syarat taubat. Dan lima bulan 24 hari sesudah hari pernikahan yakni 30 Desember 1892 telah mati dan wahyu (يموت) dari segi ini telah sempurna.
    3. Sulthan Muhammad telah mengambil faedah dari syarat taubat. Dia bertaubat maka dia selamat. Wahyu (يموت) dari segi kedua pun telah sempurna.
    4. Karena Sulthan Muhammad telah selamat dengan mengambil faedah dari syarat taubat, maka Muhammadi Begum tidak menjadi janda.
    5. Karena tidak menjadi janda, maka pernikahan dengan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam pun tidak terjadi (nikah bisa terjadi sesudah menjadi janda). (Anjam-e-Atham, h. 216)
    6. Orang yang mengumumkan keberatan tidak bosan-bosannya mengumumkan keberatan (kritikan), maka dengan sendirinya termasuk ke dalam wahyu:
    يبقى منه كلاب متعدّدة
    “Yang bersisa darinya hanya anjing-anjing yang menggonggong.”
    Semua keterangan kami tercakup dalam dua hal ini:
    1. Di dalam khabar ghaib ada syarat taubat; dan
    2. Sulthan Muhammad mengambil faedah dari syarat taubat.

    Bukti Taubatnya Sulthan Muhammad

    SEKARANG kewajiban kami adalah membuktikan, bahwa Sulthan Muhammad telah bertaubat. Dan betul-betulkah dia telah mengambil faedah dari syarat yang ada pada khabar ghaib itu?
    Maka ingatlah! Ada lima bukti tentang taubatnya:

    1. Yang paling pertama adanya bukti tentang adanya fitrat manusia untuk bertaubat dari Sulthan Muhammad. Ini jelas sekali ketika keduanya dikhabarkan akan binasa dalam waktu tertentu, maka ketika Ahmad Beg mati di waktu yang telah ditentukan itu, maka secara fitrat Sulthan Muhammad bisa mengambil pelajaran, bahwa kalau tidak bertaubat dia pun akan mati di waktu yang telah ditentukan.
    Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam telah menulis:
    a. Maka seorang bijak bisa berfikir, bahwa sesudah matinya Ahmad Beg yang kematiannya itu merupakan sebagian dari khabar ghaib. Maka, apa yang terjadi pada bagian yang lainnya? Seolah-olah dia mati dalam keadaan hidup. Kami menerima dua surat dari para sesepuhnya. Yang pertama, ditulis oleh Tuan Hakim yang tinggal di Lahore. Di dalamnya menerangkan tentang taubat dan istighfarnya. Melihat keadaan itu kami menyimpulkan bahwa khabar kematian Sulthan Muhammad tidak akan terjadi pada waktu yang telah ditentukan. (Selebaran tanggal 6 September 1894)
    b. Dan ketika Ahmad Beg mati, maka semua sanak-saudaranya merasa takut sekali. Mereka telah mengalihkan perhatian kepada doa secara khusuk dan penuh takut. Kami dengar bahwa ibu menantu Ahmad Beg sampai sekarang jantungnya belum kembali normal. Maka, Tuhan melihat bahwa keadaan mereka itu bukanlah drama semata. Maka pada waktu itu juga, janji telah sempurna. (Hujjatullah, hal.11, cet. 1897)
    2. Bukti kedua tentang taubatnya Sulthan Muhammad adalah suratnya ini:
    Dari komplek Anbalah: 21/3/13
    Semoga Saudaraku ada dalam lindungan-Nya.
    Saya berterimakasih atas ingatnya Tuan kepada saya. Saya sejak dulu menganggap Almarhum Hadhrat Mirza Sahib sebagai orang suci, pengkhidmat Islam dan berjiwa bersih yang selalu ingat kepada Tuhan. Saya tidak pernah mengingkari bahwa saya sebagai murid/pengikut beliau ‘alaihissalaam. Hanya sayangnya, karena disebabkan beberapa hal, saya tidak bisa bergaul dekat dan menyerap kesucian beliau ‘alaihissalaam, sewaktu beliau ‘alaihissalaam hidup.
    Yang selalu mengharapkan kebaikanmu,
    Mirza Sulthan Muhammad
    Dari Anbalah

    (Surat ini tertera pada Ensklopedia Agama, halaman 780, 1945)

    Kata-kata di atas kalau ditulis oleh orang biasa, maka bukanlah suatu hal yang penting. Tetapi, Sulthan Muhammad yang tentangnya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam telah mengabarkan kematiannya, dan jandanya akan menjadi isteri beliau ‘alaihissalaam Hal ini, ditulis dalam berbagai buku dan selebaran beliau ‘alaihissalaam. Seharusnya, dia memusuhi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam. Dan juga, beliau ‘alaihissalaam banyak menulis tentang taubatnya Sulthan Muhammad dan beliau juga mengetahui dengan baik tentang hal ini. Kalau sekiranya tidak bertaubat, kenapa tidak membantahnya? Kalau membantah, maka akan terbukti Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam adalah seorang pendusta. Maka, kata-kata bahwa saya menganggap beliau dari dahulu sampai sekarang sebagai seorang suci dan pujian-pujian lainnya, bukanlah hal yang biasa, tapi suatu mukjizat.

    3. Bukti ketiga tentang taubatnya Sulthan Muhammad, keterangannya sendiri:
    “Mertua saya betul-betul mati sesuai dengan khabar ghaib. Tapi, Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang…. Saya berkata dengan iman bahwa khabar ghaib pernikahan bagi saya bukan penyebab keraguan. Sedangkan tentang baiat: Saya bersumpah bahwa keyakinan dan keimanan saya terhadap Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam, saya pikir Tuan-tuan yang sudah baiat pun tidak bisa mengalahkannya. Sedangkan tentang hati saya, Tuan-tuan bisa memperkirakannya bahwa orang-orang Arya disebabkan oleh Lekhram dan orang-orang Kristen, disebabkan oleh Atham, mereka siap memberi saya ratusan ribu Rupees supaya saya membawa Tuan Mirza ke Pengadilan, maka saya akan menjadi orang yang sangat kaya. Tapi keyakinan dan keimanan itulah yang telah menghalangi saya.” (Pernyataan ini terdapat di dalam Surat khabar Al-Fadhl, 91-13 Juni 1921)
    4. Bukti keempat tentang taubatnya Sulthan Muhammad adalah tulisan putera Sulthan Muhammad yang pertama, Mirza Ishaaq Beg.

    بسم الله الرّحمــاــن الرّحيم
    Tuan-tuan yang terhormat,
    السّلام عليكم و رحمة الله و بركاته
    PERTAMA, saya ingin menerangkan pengakuan saya.
    Demi Allah, saya masuk ke Jemaat Ahmadiyah bukan karena serakah atau tekanan dari seseorang. Bahkan, sesudah mengadakan penyelidikan yang lama dan mendalam. Saya mengimani bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam benar di dalam segala dakwaan beliau. Dan, beliau ‘alaihissalaam betul-betul Utusan-Nya. Dan terbukti, kebenaran perkataan dan amalan beliau ‘alaihissalaam sehingga tidak meragukan bagi pengenal kebenaran. Semua khabar ghaib beliau ‘alaihissalaam telah sempurna.

    INI adalah soal lain bahwa: Sebagian orang yang berprasangka buruk atau disebabkan tidak paham menerangkan bahwa beberapa khabar ghaib tidak sempurna, hal ini telah menipu orang-orang umum. Misalnya, khabar ghaib tentang Ahmad Beg dan yang lainnya. Mereka menuntut bukti di setiap tempat bahwa khabar ghaib ini telah sempurna. Padahal, ini pun telah sempurna dengan jelas sekali.

    Sebelum lebih lanjut mengenai khabar ghaib ini, saya ingin menerangkan bahwa khabar ghaib ini bersifat peringatan. Allah memberi banyak khabar ghaib yang bersifat peringatan melalui para Nabi-Nya, bertujuan supaya orang bersangkutan bisa memperbaiki diri dan bertaubat sebagaimana Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa befirman di dalam Alquran.
    و ما نرسل باْلأايات إلاَّ تخويفاً
    “Mengapa kami memberi para Nabi tanda-tanda supaya mereka takut.”
    Di dalamnya Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa menerangkan tujuan sebenarnya dari pemberian khabar ghaib yang bersifat peringatan, yaitu: Supaya mereka memperbaiki diri. Ketika suatu kaum merasa takut kepada Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa dan memusatkan perhatian di dalam perbaikan diri, maka Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa pun akan menjauhkan azab daripadanya. Seperti halnya peringatan azab terhadap kaum Nabi Yunus ‘alaihissalaam.
    ولمَـَّا وقع عليهم الرّجز

    Di dalam keadaan ini, khabar ghaib yang bersifat peringatan, tidaklah penting—untuk sempurna secara kata demi kata. Demikian juga yang terjadi pada peristiwa ini. Ketika keluarga dan kaum Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam mencemoohkannya, sampai-sampai mereka mengingkari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa, mengingkari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan Alquran, serta menyebarkan selebaran: Menuntut satu tanda. Maka, Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa melalui Utusan-Nya memberi khabar ghaib.
    Berdasarkan khabar ghaib ini, kakak saya—Ahmad Beg—telah mengalami kebinasaan. Dan keluarga yang lainnya melihat kejadian ini, merasa takut dan mulai berusaha memperbaiki diri. Dan, bukti yang tidak bisa dibantah bahwa sebagian besar dari mereka telah menerima Jemaat Ahmadiyah. Maka, Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa berdasarkan sifat ghafar-Nya telah merubah kemarahan menjadi kasih sayang. Kemudian, saya dengan sesungguh-sungguhnya mengumumkan bahwa khabar ghaib ini pun telah sempurna. Saya memohon kepada orang-orang yang terhalang oleh khabar ghaib ini di dalam menerima kebenaran Jemaat.

    Berimanlah kepada Al-Masih Zaman.
    Aku bersumpah, demi Tuhan: Inilah Al-Masih yang dijanjikan yang tentangnya Baginda Nabi Muhammad ‘alaihissalaam telah mengabarkannya. Sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam:
    Datanglah kepadaku dengan benar, di sanalah letaknya kebaikan
    Dari segala arah ada binatang buas. Akulah bintang keselamatan
    Sesudah satu masa, maka berhembus udara yang sejuk
    Kemudian hanya Tuhan Yang Tahu: Kapan hari ini dan musim bunga ini, akan datang kembali?
    Yang amat lemah

    Mirza Muhammad Ishaaq Beg
    Kabupaten Lahore
    (Surat ini terdapat pada Surat Khabar Al-Fadhl, 26 Februari 1932)
    5. Bukti kelima tentang taubatnya Sulthan Muhammad adalah tentang Hadhrat Masih Mau’uud ‘alaihissalaam kepada mereka yang mengemukakan keberatan.
    Beliau ‘alaihissalaam bersabda, “Keputusan perkara ini adalah mudah. Kalau ingin cepat, katakan saja kepada menantunya Ahmad Beg, yaitu: Sulthan Muhammad—supaya menyebarkan selebaran pendustaan (bahwa dia tidak bertaubat – Pen.). Kemudian kita lihat, apakah janji (kematian itu) tidak mengenainya: Kalau dia tidak mati, maka saya adalah pendusta!
    Pasti maut tidak akan menimpanya, waktu itu tidak akan datang, kalau dia tidak lancang. Maka kalau ingin cepat, bangunlah. Dan, jadikanlah dia lancang dan jadi pendusta. Dan suruhlah dia menyebarkannya. Dan lihatlah penampakkan takdir Tuhan.” (Anjam-e-Atham, Note halaman 32)
    Sesudah pengumuman ini, Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam masih hidup selama 12 tahun, tapi tidak ada satu ulama yang dapat membuat Sulthan Muhammad maju ke depan untuk membuat selebaran bahwa dia tidak bertaubat.

    Kenapa Sulthan Muhammad Tidak Baiat?

    SEBAGIAN ghair Ahmadi selalu berkata bahwa kami terima bahwasanya Sulthan Muhammad telah taubat. Tapi yang menjadi persoalan di sini: Dia tidak baiat.

    Jawabannya adalah seperti ini:
    Khabar ghaib ini menjadi sempurna pada 1886-1888. Dan Syarat Taubat ada pada Selebaran tanggal 20 Februari dan 15 Juli 1888. Pada waktu itu, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam belum mendakwakan sebegai Nabi maupun sebagai Isa yang Dijanjikan dan Imam Mahdi. Dan beliau ‘alaihissalaam belum mengambil baiat. Bahkan, kalau ada yang datang untuk minta baiat, beliau ‘alaihissalaam bersabda, “ لَسْتُ بمِـَأْمُوْرٍ –Saya tidak mendapat perintah.”

    Baiat dimulai pada tahun 1889 sehingga waktu itu belum ada masalah antara Ahmadi dan ghair Ahmadi; karena baru pada tahun 1900, Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam baru menamai Jemaat beliau: Firqah Ahmadiyah Muslim.

    Like

  2. rieut lah…. Alhamdulillah abdi mah Muslim sames Jemaah Ahmadiyah, janten teu kedah ngiringan, mung hoyong geura Ahmadiyah teh geura taubat heg lebet deui kana Islam anu Haqiqi. Aamiin Ya Allah.
    Asyhadu alla ilaaha ilAllahu, wa asyhadu anna muhammadarrosulullah.

    Like

Leave a comment