(TTS:14) Antara Idealisme dan Cerita Masa Kecil


a692b10c-ef50-405f-b7d4-70ae6ec42638
pict. newsdetik.com

Dahulu, sekitar 8 tahun yang lalu. Usai lulus kuliah, saya memiliki cita-cita untuk mengabdikan diri sebagai buruh pendidikan di pulau-pulau terpencil di tanah air. Ketika itu, idealisme memang  tengah berapi-api. Darah muda saya menyulutkan keinginan yang besar untuk menyalurkan ilmu yang saya dapat untuk anak-anak negeri yang terdiskriminasikan oleh keangkuhan zaman.

Saya terinspirasi pada perjuangan anak-anak muda yang rela meninggalkan segala kenyamanan dan fasilitas lengkap di kota, untuk mendidik generasi-generasi emas yang masih tersimpan di pelosok negeri. Melalui program Indonesia Mengajar, yang dimotori oleh pak Anies Baswedan, anak-anak muda yang baru lulus kuliah ini di seleksi untuk kemudian di tugaskan guna mengemban tugas mencerdaskan anak-anak negeri  yang  masih tertinggal jauh dalam segala hal.

Ya,  tahun terus berjalan. Impian dan tekad itu pun perlahan memudar. Sebenarnya tidak benar-benar memudar. Bahkan hingga detik saya menuliskan setiap huruf ini, keinginan untuk bisa mengabdi di pelosok negeri masih ada. Meski tentu saja tidak sebesar kala itu. Namun, jelas tekad besar tidak lagi bersemayam di jiwa ini. Keinginan hanyalah sebatas keinginan. Dan saya tidak berharap lebih, karena saya menyadari keinginan (impian) tidak bisa diraih hanya dengan berdiam diri dan menunggu dengan sabar. Barangkali  itu yang disebut dengan angan-angan. Hehe..

Yang saya pahami, setiap anak bangsa memiliki hak yang sama untuk bisa mengenyam pendidikan. Hal ini juga yang tertuang dalam butir-butir pancasila. Bahwa anak-anak negeri berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.  Bukan sekedar bisa sekolah, tetapi juga harus mendapatkan pelayanan yang memadai, baik dari segi fasilitas pun tenaga pendidiknya.

Sebagai anak yang terlahir di daerah perkampungan kecil, saya pun pernah merasakan bersekolah dengan fasilitas yang jauh dari layak. Kondisi bangunan sekolah yang kumuh, atap genteng yang pecah di sana-sini. Sehingga kalau hujan, maka bisa dipastikan ruang kelas akan penuh genangan air. Maka jangan heran kalau kami jadi terbiasa ke sekolah tanpa sepatu. Terlebih jika musim hujan. Lantai di beberapa ruangan juga sudah banyak yang rusak alias berlubang.  Namun, semua itu tidak menyurutkan semangat kami untuk terus belajar. Mengenal lebih luas tentang alam semesta. Mendengarkan dengan seksama setiap nasihat bijak dari guru-guru kami.

Pengalaman sekolah masa kecil saya barangkali memang tidak ‘semengenaskan’ seperti yang digambarkan oleh Andrea Hirata dalam novelnya Laskar Pelangi.  Namun saya meyakini bahwa kondisi sekolah yang  jauh dari layak, masih banyak dirasakan oleh anak bangsa khususnya yang tinggal di pelosok-pelosok negeri. Mereka terus menjaga asa dengan segala keterbatasan yang ada. Dan berharap segera muncul manusia-manusia berhati malaikat yang mampu menyulap sekolah bahkan kampung mereka menjadi tempat yang layak untuk dihuni.

Meskipun fasilitas bukan satu-satunya indikator penentu keberhasilan siswa dalam belajar, namun keberadaannya juga memiliki pengaruh yang sangat besar bagi siswa saat belajar. Kondiri ruang kelas yang nyaman, dengan fasilitas yang memadai tentu akan membawa pengaruh positif bagi anak untuk semangat belajar.  Pun bagi seorang guru, ketika segala fasilitas tersedia, mestinya akan lebih mudah bagi seorang guru untuk mengajar dengan berbagai metode yang membuat siswa betah di dalam kelas.

Pendidikan memang bukan semata-mata tentang fasilitas. Ada banyak hal yang masih harus dibenahi dari pendidikan di negeri ini. Sistem pendidikan, kualitas pendidik, sarana dan prasarana merupakan poin-poin penting yang harus terus dibenahi dan ditingkatkan oleh pemerintah agar pendidikan di negeri ini terus maju dan mampu bersaing dengan dunia global. Pemerintah juga harus memastikan bahwa anak-anak di daerah terpencil juga mendapatkan pendidikan yang layak, mulai dari sarana dan prasarana yang memadai, dan juga guru-guru yang berkualitas.  Saya melihat pemerintah sudah menyasar ke arah sana.

Bagaimana peran kita sebagai anak bangsa? Terus belajar dan gali potensi. Jangan lelah menjadi orang yang baik. Keberhasilan pendidikan di negeri ini bukan tanggung jawab pemerintah semata. Setiap kebaikan kebaikan yang kita lakukan untuk pendidikan negeri ini, akan sangat besar pengaruhnya di masa yang akan datang. Mari nyalakan lebih banyak lilin di berbagai pelosok negeri ini. Jangan biarkan kegelapan terus menutupi setiap mimpi yang telah kita bangun.

Published by

muhsinsakhi

lahir di sebuah perkampungan kecil di Boyolali tepatnya di desa Sambiroto, Sindon, Ngemplak, Boyolali. Mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah Surakarta jurusan FKIP Bahasa Inggris. Saat ini berprofesi sebagai pengajar di SD Al-Azhar Syifa Budi Solo. Tergabung dalam komunitas menulis FLP Solo Raya. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi bersama seperti “Kapur dan Papan: Kisah Menjadi Guru” (2015), “Dupa Mengepul Di Langit” (2015), “Kapur dan Papan: Mendidik dengan Hati” (2016), “Ensiklopedi Penulis Nusantara” (2016), “Ketika Buku Berkisah Tentang Aku” (2016), “Bayang Terang Pendidikan” (2018) dan “Kaki Api” (2018) serta buku solo yang baru terbit tahun ini berjudul “Catatan Di Balik Ruang” (2020)

7 thoughts on “(TTS:14) Antara Idealisme dan Cerita Masa Kecil”

  1. Salut dengan pejuang-pejuang pendidikan. Semoga pendidikan semakin merata di negeri ini, dan tidak sepenuhnya tergantung dengan pemerintah jika banyak orang-orang baik turut mengabdi utk bangsa. Amin.

    Liked by 1 person

    1. Aamiin. terimakasih pak untuk do’anya. mari kita bersama-sama ikut andil untuk turut serta membantu pendidikan di negeri ini. tentu dengan cara kita masing-masing.

      Like

      1. biar saya saja ya yang merantau, sejak 1993 sy sudah merantau sampai saat ini, kampung saya aslinya kecamatan sambi, orang mengenalnya gunung tugel

        Like

Leave a comment